25/04/2024

Bambang Putra Ermansyah. (F: dok. FISIP UNRI)

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Dalam keangkuhan mistikal mazhab-mazhab kuno Budhisme Tibet, para pengkaji kebijaksanaan Timur akan menemukan mazhab Nyingma sebagai satu diantaranya. Nyingma, besar kemungkinan didorong oleh rasa frustasi atas persekusi yang menimpa penganut ajarannya, mempercayai keberadaan Beyul, yakni lanskap-lanskap utopian yang bertempat dalam lembah-lembah tersembunyi yang telah diberkahi oleh Padmasambhava, Sang Lotus dari Oddiyana.

Konon, Padmasambhava menyembunyikan Beyul dalam pekatnya kabut-kabut pegunungan, kejamnya badai-badai salju, terjalnya tebing-tebing, serta buasnya taring-taring hewan buas. Nyingma inilah yang dijadikan inspirasi utama oleh     James Hilton, penulis kelahiran Lancashire, ketika menciptakan satu buah ruang utopis dalam novel yang menjadi mahakaryanya : Lost Horizon (terbit tahun 1930-an).

Lost Horizon menceritakan tentang beberapa survivor kulit putih yang terdampar di keangkuhan Pegunungan Kunlun setelah pesawat mereka hancur lebur. Dalam kemisteriusan pegunungan yang berbatu itulah para survivvor tersebut menjumpai sebuah lembah surgawi yang disebut Shangri-La oleh penghuninya, sebuah lembah mistikal yang hanya mengenal keharmonisan, kebahagiaan, dan ketenangan ; sebuah teriakan penuh keputusasaan dari kekosongan spiritual Barat pasca Perang Dunia Pertama, serta kerinduan akan harmoni yang nampaknya makin jauh untuk digapai dalam realitas masanya.

Bagaimana teks-teks kuno Nyingma mendeskripsikan Beyul, atau kerinduan para pujangga Yunani atas Arcadia, hingga angan-angan Hilton mengenai Shangri-la, semuanya merupakan imajinasi alam fisikal atas angan-angan locus amoenus. Seluruh tempat-tempat tersebut selalu digambarkan menghembuskan nafas-nafas mistik dalam tiap-tiap sudutnya, bersifat pastoral, dan harmonis ; sebuah tempat ideal yang menjadi angan-angan manusia-manusia yang tertindas, terusir, dan takut.

Hal ini menarik, karena berbeda dengan El Dorado atau Sierra de la Plata, lokus-lokus mitologis yang beredar kisah-kisahnya di kawasan Amerika Selatan pada masa kolonial berorientasi pada cerita-cerita penuh dengan bukit-bukit emas dan perak, dua buah objek yang menjadi motor kebangkitan era Kolonial. Sehingga, dapatlah saya simpulkan bahwa angan-angan imajinatif atas locus amoenus merupakan citra dari harapan terdalam manusia di zaman dan realitasnya masing-masing.

Mengenai angan-angan tanah utopian inilah sebagian besar benak saya mengarah ketika selama 4 jam memoderatori kegiatan Syarahan Shadu Perdana yang dimotori oleh beberapa Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNRI; sebuah kegiatan yang memang semestinya muncul dari rahim-rahim Universitas. Syarahan ini mengangkat tema “Paradoks Utopia, Rezim Digitalisme: Obsesi Ilmu dan Kebenaran Singularitas” Jum’at lalu (16/12/2022) dengan menghadirkan seorang Writepreneur dari Batam, Muhammad Natsir Tahar sebagai pembedah utama.

Sepanjang kegiatan berlangsung, Natsir menjelaskan logika perkembangan teknologi yang mulai menguasai sendi-sendi kehidupan manusia secara sistematis. Dalam pandangan beliau, perkembangan teknologi berpotensi untuk terciptanya masa-masa damai sejahtera, sebuah masa di mana ketersediaan pemenuhan kebutuhan manusia ada pada puncaknya.

Sebuah masa di mana umat manusia mampu memenuhi hasrat dan kebutuhannya tanpa perlu lagi bersusah payah, masa di mana umat manusia tidak lagi harus dibayangi oleh ancaman perang dan konflik tak berkesudahan, karena teknologi manusia sudah melayani semuanya berdasarkan apa yang paling baik untuk manusia. Dengan kata lain ; Utopia yang menjadi nyata.

Namun, masih seturut beliau, realisasi utopia ini bukannya tanpa harga yang harus dibayar. Dengan segala ketersediaan dan kemudahan itu, manusia akan kehilangan kesempatan mereka untuk berjuang dan bersusah payah, sehingga dengan demikian, kenikmatan dan kemudahan itu tak lagi mampu memberikan rasa bahagia dan puas kepada manusia ; Bagaikan tanah yang didatarkan bagi Sisyphus dalam perspektif Camusian, tak ada lagi susah payah dan absurditas, yang dengan demikian, makna hidup menjadi sebenar-benarnya hilang dan tak dapat dicari, ditemukan, atau dibuat sendiri. Inilah yang disebut oleh Natsir sebagai paradoks yang muncul ketika utopia tercapai.

Di tengah syarahan dan diskusi kritis yang mengikutinya, terlepas dari paradoks yang muncul, alam pikir saya lebih suka untuk mengeksplorasi iming-iming utopia itu. Dalam fase sejarah yang technological seperti sekarang, rupanya angan-angan utopian tidak lagi dipenuhi oleh pemenuhan hasrat transendental serta kebersatuan manusia sebagai jagat kecil dengan sekitarnya, namun justru dipenuhi oleh imaji atas kemudahan dan kecukupan yang ditawarkan oleh pesatnya perkembangan teknologi dan Artificial Intellegence (AI).

Namun begitu, masih ada ruang-ruang kosong yang sepertinya luput dari perhatian para futurolog maupun para advokat AI: Teknologi, sebagaimana manusia, akan dibatasi oleh batasan-batasan yang tidak terbatas banyaknya. Salah satu batasannya adalah pikiran manusia itu sendiri, dan ketika saya katakan “pikiran”, maka itu mencakup produk-produknya, seperti moralitas, etika, cita-cita, ambisi hingga kepentingannya. Sehingga, teknologi (dan masa depan yang akan dibawanya) tidak akan mungkin independen dari kuasa dan kehendak manusia. Herbert Marcuse, pada periode 60-an, memperkenalkan terma “Manusia Satu Dimensi”.

Bagi Marcuse, Manusia Satu Dimensi adalah mereka yang dengan begitu saja tunduk pada kuasa totalitarianisme yang mencekik, dengan masyarakat yang kehilangan kemampuannya untuk berpikir sendiri, yang akomodatif dan permisif terhadap segala bentuk penindasan. Manusia Satu Dimensi disuapi oleh kebutuhan-kebutuhan palsu serta dieksploitasi oleh sifat-sifat eksploitatif manusia itu sendiri, sehingga masyarakat banyak membuka dirinya secara pasrah untuk disuapi begitu saja dengan kesempatan-kesempatan untuk “membeli” kebahagiaan.

Manusia Satu Dimensi mengais kebutuhan koneksi dan afeksi sosial mereka melalui benda alih-alih melalui sesama makhluk berjiwa. Manusia Satu Dimensi gagal menyadari bahwa hubungan mereka dengan seisi alam semesta telah tereduksi menjadi relasi yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Totalitarianisme ini disponsori oleh konsumerisme dan kejayaan teknologi ; dua berhala dalam Advanced Industrial Society.

Karenanya, berbeda dengan penjabaran Natsir dalam Syarahannya, masa depan yang berbasis kemajuan teknologi rupanya tampak begitu suram bagi Marcuse.  Orang-orang bisa saja mengatakan bahwa visi yang suram dari Marcuse mengenai ending dari Techonological Phase adalah sebagaimana visi-visi suram para pemikir kritis mazhab Frankfurt lainnya seperti Theodor Adorno atau Franz Neumann. Namun begitu, ada yang berbeda antara Marcuse dengan Adorno atau Neumann. Marcuse menjadi pahlawan bagi “padepokan” Frankfurt ketika jawara-jawara mereka abai terhadap bahasan mengenai perubahan sosial (seperti Adorno dan Neumann).

Marcuse barangkali manusia pertama di dunia yang menyadari dan menuliskan kritik yang begitu kuat atas dominasi dan kontrol sosial model baru. Bagi Marcuse, masyarakat industrial sebagai sebuah fase zaman terbaru telah menciptakan realitas yang menjadikan represifitas berjaya karena seluruh kritik radikal yang jujur dan apa adanya dimusnahkan oleh lautan kebutuhan-kebutuhan palsu, sementara segala bentuk oposisi ditelan oleh sistem sehingga oposisi menjadi tiada karena kebutuhan superfisialnya diakomodir oleh sistem kuasa yang berhasil mengintegrasikan mereka kedalamnya.

Betul juga rasanya kutipan dari Rumi, seorang mistikus sekaligus pujangga Islam yang terkenal itu. Beliau berkata “Reality of things is (often) blocked by form and image”. Realitas telah dikaburkan oleh hyperrealitas, yakni ketidakmampuan diri untuk membedakan mana yang “realitas”, mana yang “simulasi realitas”. Cinta telah tereduksi menjadi coklat dan bunga, sebagaimana kemakmuran direduksi menjadi nominal berjejer-jejer di rekening Bank. Realitas atas segalanya dikaburkan oleh bentuk-bentuk dan imej-imej, seperti kata Rumi tadi. Begitupun dengan teknologi.

Realitas hakiki dari perkembangan teknologi (dan kearah mana ia mengarah) terselubungi oleh bentuk dan imej, kemudahan dan efisiensi membunuh nalar, sementara kemampuan manusia untuk berpikir dijinakkan oleh kebutuhan-kebutuhan palsu yang harus dipenuhi melalui gaji-gaji yang diterima dari pekerjaan-pekerjaan yang mencabut manusia dari dirinya yang manusiawi.  Techological rationality, terma yang juga diperkenalkan oleh Marcuse, pada akhirnya jauh lebih bisa dipercaya dibandingkan iming-iming utopia yang ditawarkan oleh teknologi yang senantiasa dipenuhi ambisi-ambisi kapital.

Marcuse bukannya menolak potensi kemajuan teknologi sebagai instrumen untuk mencapai kebebasan dan kebahagiaan paripurna manusia, namun pada nyatanya, manusia justru ditundukkan oleh seperangkat system of reasoning yang berpangkal pada inovasi-inovasi teknologi. Sehingga dalam system of reasoning ini, yang ia sebut  Techological rationality, kebutuhan palsu datang menggantikan kebutuhan hakiki, sehingga pada masanya nanti akan membunuh kemerdekaan manusia itu sendiri.

Dibunuh oleh fasilitas dan inovasi teknologis tanpa makna, tanpa jiwa, dan kosong ; segala relasi yang ada, adalah demi aktivitas produksi dan kepentingan kapital. Pada akhirnya, bukanlah Shangri-la yang dibawa kemajuan teknologi, namun bencana reifikasi masal umat manusia yang dipenuhi oleh fetisisme komiditas.

 

Bambang Putra Ermansyah__ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Meminati kajian-kajian Terorisme, Kawasan Timur Tengah, Filsafat, serta Keagamaan (baik Abrahamic maupun yang selainnya). Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.

Redaktur: Munawir Sani