Oleh Bambang Putra Ermansyah
Imam Dzahabi, seorang ulama Syafi’iyah yang juga seorang biografer menuliskan tentang kisah Qais dan Laila. Dalam Siyar A’lam Nubala’, beliau menulis: “Qais adalah seorang lelaki yang mati karena cintanya kepada Laila, seorang putri dari Mahdi Al Amiriyah. Cinta Qais mulanya adalah seperti hubungan cinta anak kecil. Mereka bertemu ketika sedang menggembala kambing. Konon, karena cintanya ini keluarga Laila melaporkan Qais kepada Raja. Qais pun dihukum.
Mereka juga membawa Laila pergi dari Qais. Karena perpisahan tersebut Laila mengalami kesedihan yang amat sangat. Qais sendiri berjalan tak tentu arah di sebuah tanah lapangan luas. Tak lama kemudian dia ditemukan telah mati. Orang-orang pun membawanya ke sebuah perkampungan, memandikannya, dan menguburkannya. Baik lelaki maupun para wanita menangisi kematiannya.”
Cinta Qais terhadap Laila memanglah sudah melegenda. Karya An Nizami tentang mereka tentu saja punya andil paling besar. Kisah yang dituliskan oleh Nizami mengenai mereka berdua, dapat dipastikan adalah “versi” fiksionalisasi dari kisah yang sesungguhnya. Tentu, karena orang-orang Arab dan Persia punya tradisi oral yang baik, puisi-puisi yang diucapkan oleh Qais melekat dalam ingatan mereka. Jadi, besar kemungkinan sebagian puisi Qais yang dicatat oleh Nizami dalam kisah yang ditulisnya adalah benar merupakan puisi Qais. Namun, sebagian ada juga yang merupakan karangannya sendiri yang ia selipkan dalam karyanya. Mengubah lisannya menjadi lisan Qais. Mengubah kerinduannya menjadi kerinduan Qais.
Besar kemungkinan, kisah Qais sesingkat sebagaimana yang diceritakan Adz Dzahabi. Sementara yang dikisahkan Nizami adalah versi yang di dramatisir, yang difiksionalisasi. Tidak ada yang salah dengan fiksionalisasi. Namun kita semua tahu, catatan versi mana yang paling terkenal di antara Nizami dan Adz Dzahabi. Ketika ada seseorang yang menyarankan untuk membaca kisah Laila Majnun, maka yang mereka rujuk pasti adalah kisah yang ditulis oleh Nizami. Bukan Siyar A’lam Nubala’ tulisan Adz Dzahabi.
Sekarang pertanyaannya kenapa? Kenapa versi Nizami lebih terasosiasikan dibanding versi Dzahabi? Kenapa versi yang jelas-jelas merupakan versi fiksionalisasi lebih mahsyur?
Baudrillard menyebutnya sebagai hyper-realitas. Sebuah keadaan ketika Realitas sudah mengalami penyaruan dengan simulasi dan representasi. Yang kita lihat bukanlah realitas sesungguhnya, yang berdiri sendiri. Namun lebih sebagai bayangan simulasi yang ditangkap oleh indera kita. Realitas diri yang kita tampilkan, sejatinya bukanlah diri kita sendiri yang “berdiri sendiri”. Namun merupakan diri yang mensimulasikan banyak hal.
Diri kita adalah representasi dari buku yang kita baca, film yang kita tonton, iklan yang kita lihat. Tentu saja, pandangan ini akan masuk akal jika kita lebih dulu mengafirmasi dikotomi antara yang mana yang riil dan mana yang maya. Yang maya akan selalu bisa lebih indah, lebih seru, lebih melenakan. Jika kita membenarkan realitas dunia sebagaimana yang digambarkan oleh Schopenhauer dalam “World as Will and Representation”, maka keputusan untuk melenakan diri dalam dunia maya, dunia yang bukan realitas, adalah keputusan yang dapat kita pahami. Dapat kita pahami, namun tidak selalu dapat kita benarkan.
***
Dalam salah satu kisah yang masih bersangkutan dengan Laila dan Qais, diceritakan bahwa seorang Raja pernah memanggil Laila ke hadapannya. Raja tersebut penasaran dengan kecantikan Laila yang menyebabkan kegilaan terhadap seorang pemuda bernama Qais. Maka, dihadapkanlah Laila ke Sang Raja. Sontak, antusiasme Raja langsung meredup. Laila tidak secantik yang dipersangkakannya. Laila memang enak dipandang, aku Sang Raja. Namun dia tidak habis pikir kenapa kecantikan yang biasa saja seperti itu dapat membuat seorang pemuda seperti Qais menjadi gila.
“Bahkan pelayanku yang aku anggap paling buruk masih lebih cantik daripada Anda,” begitu ungkap Raja kepada Laila. Laila hanya tersenyum.
“Itu karena Baginda tidak melihatku dengan mata seorang Qais”, ucapnya.
Saya tidak bisa melacak asal usul kronik kisah Laila yang satu ini. Kisah ini bersirkulasi begitu saja, diceritakan dari satu lisan ke lisan lainnya. Besar kemungkinan kisah tersebut tidak pernah terjadi. Namun dengan semangat hyper-realitas Baudrillard, usahlah kita bersibuk diri mengenai keotentikan kisah tersebut. Yang lebih penting, dan ingin saya soroti adalah isyarat yang terkandung di dalam kisah tersebut.
Laila, sebagaimana Sang Raja, sadar betul bahwa dirinya bukanlah perempuan tercantik sejagat raya. Kecantikannya merupakan buah dari penglihatan Qais. Kisah ini merupakan anekdot paling tepat untuk menjelaskan salah satu mazhab dalam teoritisasi mengenai keindahan: subjektivisme. Para pendukung ini memandang bahwa estetika adalah sebuah hal yang subjektif. Keindahan letaknya bukan pada benda. Tak ada sifat keindahan yang melekat pada benda atau pada apapun.
Keindahan adalah sifat yang dilekatkan oleh indera dan minda terhadap sebuah benda ataupun yang selainnya. Keindahan akan selalu bergantung pada sentimen pribadi. Hume, dalam “Of the Standard of Taste:, mendukung pandangan ini. Sehingga, sekalipun ada konsensus yang mungkin bisa dicapai mengenai hukum-hukum yang mengatur syarat “keindahan”, namun keindahan itu sendiri adalah predikat yang dilekatkan, bukan melekat.
Adalah kecintaan Qais terhadap Laila yang menjadikan Laila begitu indah di matanya. Sebuah keindahan yang pantas untuk dibayar dengan puisi dan kesintingan. Sekalipun Laila memiliki syarat-syarat hukum keindahan menempel pada dirinya, namun pada akhirnya tidaklah melekat predikat keindahan terhadap Laila kecuali karena Qais melihatnya sebagai keindahan.
Ada hal-hal yang dipandang sebagai hukum syarat keindahan; kesimetrisan dan proporsionalitas misalnya. Dan itu benar melekat kepada Laila. Namun apakah yang memiliki kesimetrisan dan proporsionalitas hanyalah Laila seorang? Tentu tidak. Hukum syarat tersebut ditemukan pada banyak perempuan. Namun, kenapa Laila dan hanya Laila yang mampu membuat gila Qais? Dan kenapa hanya Qais yang dibuat gila oleh Laila? Karena, sebagaimana perkataan Laila di hadapan Raja: Yang memandang adalah mata Qais yang penuh sentimen positif terhadap Laila. Maka terciptalah puisi-puisi dan kesintingan itu.
Apakah yang dicintai oleh Qais adalah Laila yang sebenar Laila, atau Laila dalam pandangan cinta Qais? Perdebatan ini adalah perdebatan tanpa ujung. Namun pada akhirnya, jawabannya tidaklah begitu berarti. Qais mungkin saja mencintai Laila yang bukan sebatas individu yang nyata, namun juga mencintai versi Laila yang teridealisasi oleh dirinya sendiri, oleh persepsinya sendiri. Ada gambaran ideal yang melampaui sosok nyata Laila; sosok yang bertubuh, yang bercela.
Inilah alam persepsi, alam yang melampaui realita. Laila yang maya, bisa jadi tidak seperti Laila yang nyata. Namun, sekali lagi, itu tidak lagi berarti. Karena bagi Qais, yang maya itu sudah menjadi nyata, setidaknya bagi dirinya : Bahwa keindahan Laila adalah keindahan paripurna yang hanya bisa dibayar lunas dengan penyatuan suci (holy union) atau kesintingan. Dan keduanya adalah bayaran yang pantas.
Apa yang kira-kira membentuk keindahan yang dilekatkan pada Laila tersebut? Jika kita menanyakan pada Baumgarden, maka ia akan menyebutkan satu jawaban: pengalaman subjektif. Dalam Thauqul Hamamah, Imam Ibnul Hazm menceritakan mengenai cinta pertamanya : seorang perempuan berambut pirang yang ia lihat sedang memainkan musik dihadapan para aristokrat perempuan. Pengalaman tersebut; kombinasi antara keterpukauan dan ketidakterjangkauan, menjadikan Ibnu Hazm membentuk syarat keindahannya sendiri ; Rambut Pirang. Sepanjang hidupnya, ucap Ibnu Hazm, dia menemukan perempuan rambut pirang sebagai standar keindahan yang selalu ia cari. Sehingga membuat kita bertanya-tanya, apakah Ibnu Hazm, sepanjang hidupnya, benar-benar mengagumi rambut pirang sebagai syarat kecantikan atau ia hanya mengejar bayang perempuan cinta pertamanya itu?
Subjektivisme dalam estetika pun juga dilihat oleh Nietzsche sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh aspek kultural. Baik Qais maupun Ibnu Hazm mensyaratkan hukum-hukum keindahan sebagai buah kultural dari realitas mereka. Adalah suatu hal yang sangat menarik ketika Ibnu Hazm menyebutkan sambil lalu bahwa “Sebagaimana ayahku, aku memiliki ketertarikan yang besar kepada perempuan berambut pirang”. Seorang pembaca yang jeli dapat menyimpulkan bahwa Ibu dari Ibnu Hazm adalah seorang perempuan berambut pirang. Maka, subjektivitas Ibnu Hazm dalam memandang syarat keindahan pun rupanya dipengaruhi oleh aspek yang sifatnya persepsional, membuat kita mempertimbangkan paradigma Freudian dalam psikoanalisis.
Subjektivitas estetika ini mendapatkan pertentangan. Yang paling sengit adalah dari Plato dan Aristoteles, yang menyatakan bahwa estetika atau keindahan memang melekat pada satu objek, dan tidak terpengaruhi oleh sudut pandang pengamat. Dalam pandangan ini, estetika adalah pengalaman yang diterima manusia ketika melihat atau mendengar sesuatu yang memiliki predikat keindahan yang sudah secara asal melekat padanya. Ini adalah teori estetika yang paling kuno dan paling kaku, yang muncul ketika para filsuf memiliki monopoli dalam melakukan konseptualisasi terhadap segala sesuatu dan terobsesi dalam menentukan hukum-hukum kategoris.
Itulah mengapa kita bisa melihat karya-karya seni yang memakai standarisasi keindahan Platonian dan Aristotelian sebagai sesuatu yang monoton; standarnya jelas. Ketika pujangga Homer memuji keindahan visual para dewa, maka visualisasinya adalah postur tubuh ideal Olimpian. Tak ada peran persepsi dalam estetika. Dalam pandangan objektifis, ketika sesuatu yang tidak memenuhi standar keindahan disukai oleh seseorang, maka hal tersebut dilihat sebagai anomali. Bukanlah objek tersebut yang indah di mata si pemilik mata, namun pemilik mata lah yang mencintai objek tersebut terlepas tidak melekatnya keindahan pada objek tersebut.
Karenanya, jika subjektivisme bisa menjadikan indah apa yang dipandang mata, objektivisme melihat bahwa seseorang dapat mencintai terlepas absennya keindahan pada yang dicintai. Mari kita lihat dongeng “Beauty and The Beast”. Belle mencintai Si Buas terlepas ketiadaan estetika yang melekat padanya. Sekalipun begitu, Belle tetap menemukan cintanya untuk Si Buas, karena ia melihat kelembutan hati dan pertimbangan-pertimbangan konseptual yang melampaui keindahan. Dalam sudut pandang objetivisme, konsep estetika yang dipegang Belle tidaklah berubah. Belle mencintai Si Buas sekalipun Si Buas bukanlah makhluk yang indah.
Yang membuat Belle mencintainya adalah alasan yang lain, yang lebih fundamental. Sekalipun kita bisa memuji cinta Belle sebagai sesuatu yang lebih “murni” karena melampaui prinsip estetika, namun itu tidak mengubah kenyataan bahwa tidak ada pelekatan predikat “indah” kepada si Buas. Berbeda dengan kecintaan Qais terhadap Laila yang mampu melekatkan predikat indah pada Laila karena kecintaannya itu, Belle mampu mencintai Si Buas sekalipun tak ada keindahan yang melekat pada Si Buas, karena kita harus mencatat bahwa Belle tidak memiliki pengetahuan mengenai bentuk muasal Si Buas yang memenuhi predikat keindahan. Belle mencintai Si Buas bahkan sebelum Si Buas kembali ke wujudnya yang indah. Belle mencintai Si Buas, bahkan sekalipun kecintaannya bisa dikatakan berada di garis tipis yang memisahkan antara normalitas dan abnormalitas.
Maka, baik subjektivisme dan objektivisme, pada akhirnya keindahan dan estetika memang menuntut adanya kesintingan. Entah dengan menjadikan indah apa yang dicintainya, ataupun mencintai sekalipun tak ada keindahan melekat padanya. Kesintingan dan estetika, pada akhirnya harus saling menuntut. Kesintingan yang menuntut pengabaian ketiadaan predikat indah padanya, ataupun kesintingan yang menuntut keindahan menjelma padanya. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.