Oleh Satya Wira Wicaksana
Tidak akan ada keindahan, melainkan berasal dari penderitaan. Pernyataan ini terdengar seperti Nietzsche yang mengagumi tragedi. Penjelasan-penjelasannya mengenai dunia yang diisi oleh tragedi dan hal-hal buruk, barangkali memang tercurahkan lantaran ia kerap gagal menikah. Tuduh saya sebagai ad hominem, pun Nietzsche demikian setelah dia mengumpat tentang Sokrates tidak lebih dari badut yang membuat dirinya serius—lantaran Sokrates mempopulerkan gaya metodologi Dialektika pra-Hegel.
Umpatan si jomblo akut (baca: Nietzsche) tertuang pada esainya Senjakala Berhala (Twilight of the Idols). Tapi, sialnya, di sini saya akan menggunakan pandangan Nietzsche yang masih diperlukan untuk memahami secercah (untuk tidak mengatakannnya secuil) tentang realitas yang campur aduk ini.
Penjelajahan mengenai estetika—bagi saya—merupakan salah satu posisi supra untuk memahami realitas. Sebab, ia mampu menjadi jembatan antara keindahaan (beauty) dan tragedi (tragedy). Pijakan kontras ini seperti pertempuran ilahiah antara Apollo dan Dionysus, dewa yang menawarkan keindahan ideal manusia dan dewa yang hanya menawarkan keriangan temporal dan memabukkan. Nietzsche membuat sebuah alusi tentang ini dalam salah satu esai-esai awalnya; The Dionysian Vision of the World.
Keberpihakan Nietzsche tentu saja jatuh pada sang Dewa Mabuk atau Dionysus. Lagi, baginya yang pada akhirnya menjatuhkan keberpihakan pada Dionysus tidak lain berangkat pada ungkapan “nature is an artist”. Alam merupakan entitas ekslusif yang begitu saja, meski tanpa adanya keberadaan manusia.
Lantas, dimana korelasinya? Bukankah keindahan sebaiknya dicapai pada posisi ideal seperti yang ditawarkan oleh Apollo? Mengapa Dionysus dapat mengimbagi dalam pertempuran yang, seharusnya, asimetris ini? Jawaban: penderitaan. Lalu, mengapa penderitaan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan memulai untuk bersepakat dengan Nietzsche bahwa manusia hanya akan merasakan kebahagiaan dari eksistensinya melalui dua hal, yaitu pada mimpi (Apollo) dan mabuk (Dionysus). Lebih lanjut, pada dasarnya hal-hal yang menjadi beban dalam kehidupan, peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, kesuraman, pun yang samar-samar berangkat dan dapat dilihat dengan perasaan (untuk tidak menyebutnya “sensasi”) yang sama, yaitu kesenangan atau keindahan.
Kesenangan (dalam alam ini) pun berasal dari keadaan yang mistik (tersembunyi), tetapi di saat bersamaan selalu berada dalam gerakan atau bahkan perubahan (fluttering in motion). Dalam bahasa lain, keindahan dan kesenangan ditemukan dalam ketidaksempurnaan dan ketidakjelasan, selama bentuk dasar dari kenyataan tetap terlihat samar-samar di balik tabir yang terus bergerak.
Dalam esai tentang pandangan dunia bagi para pengikut Dionysus itu, Nietzsche mengatakan bahwa hanya pada ritual kepada Dionysus yang membuat manusia mampu melampaui batas-batas tentang keindahan. Melalui festival-festival Dionysus manusia dapat didamaikan, baik antar sesama atau pun dengan alam. Mabuk pada akhirnya melemparkan manusia dan meninggalkan aturan-aturan baku, baik pada alam atau pun pada anggur.
Dengannya naskah pidato berubah menjadi lirik lagu dan langkah kaki pun bisa menjadi tarian. Pada akhirnya manusia melupakan arti-arti keindahan dari lukisan dan patung-patung (sebagai representasi Apollo) yang ditetapkan oleh standar-standar para Apollonian, dan manusia karena mabuk itu telah bertransformasi sebagai media seni dan menjadi seni itu sendiri.
Pada kenyataan pahit ini, saya akan melontarkan pertanyaan yang sekaligus saya jadikan teori mengenai keindahan sejak beberapa tahun yang lalu; what makes something beautiful, but its flaws? Apa yang membuat sesuatu menjadi indah, melainkan kecacatannya itu sendiri? Tentu, kendaraan untuk menapakinya adalah jalan-jalan terjal penderitaan. Sebab, hanya manusia naif yang akan menempatkan dirinya sebagai pusat semesta, sebagaimana manusia pandir yang menempatkan manusia sebagai pusat alam raya—yang bahkan pada alam-alam lain yang sukar dicapainya.
Pandangan-pandangan pengikut Dionysus tentang dunia menjelaskan bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari dunia. Dengan demikian, penderitaan juga merupakan—pada dasarnya—kesatuan yang alamiah dari kesenangan. Sebab, dalam penderitaan pun akan terlihat pandangan-pandangan tentang kesenangan. Penderitaan, sebagaimana dijejalkan dan disematkan kepada Dionysus, menjadi oase dari perayaan mati rasa yang diam-diam selalu dibawa Apollo setelah musik, panah, matahari, dan patung-patung.
Kerentanan yang hadir di bawah kaki Apollo tersebut karena Apollo menyajikan idealisme, kemapanan, standarisasi, dan kerap memalingkan wajah dari penderitaan sebagai realitas dari kehidupan—dengannya yang terlihat dalam festival Apollo hanya mimpi tentang dunia ideal belaka. Meminjam Pratisti: masyarakat yang dibangun di atas mimpi, tentu akan bertemu dengan realita ketika ia bangun di pagi hari. Secara praktik, prinsip-prinsip idealisme a la Apollonian memang kerap ditemukan oleh para penguasa—ketimbang para Dionysian yang sukar diprediksi.
Lantas, ada apa dengan “apa yang membuat sesuatu menjadi indah, melainkan kecacatannya sendiri?” dan mengapa pula manusia harus menderita?
Tidak ada satu pun di dunia ini yang sempurna, bahkan Tuhan pun secara faktual tidak ada di dunia ini. Dengannya, dunia hanya menyisakan ketidaksempurnaan dan kecacatan belaka di antara pandangan-pandangan tentang keindahan dan kesenangan. Tapi, tentu saja, bukan berarti manusia harus terjerembab dalam jurang kegelapan (abyss) melulu. Manusia dapat menggenggam oposisi biner—kesenangan dan kesengsaraan—yang kemudian dapat dijadikan acuan. Penderitaan dapat dijadikan tolok ukur untuk menjadi tidak menderita.
Hanya jejak-jejak penderitaanlah yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Manusia pun pada akhirnya menjadi patung yang dirampungkan pahat, seperti tradisi Kintsugi (jahitan emas) di Jepang yang memperbaiki benda-benda retak dan tercerai-berai, merekatnya kembali dan mengecat retakan-retakan tersebut dengan bubuk emas atau perak. Dengan demikian, manusia tidak lagi menjadi selongsong kosong yang diisi oleh eskapisme.
Pada akhirnya, acaknya kehidupan memang mengharuskan manusia untuk sengsara, menderita, dan membawa tragedi di kantung matanya masing-masing. Semua ini tidak lain untuk menjelaskan kepada manusia bahwa kebahagiaan yang hakiki hanya akan mampu dirasakan setelah mengenal penderitaan dan menerima tragedi. Sebagaimana kebaikan semakin terlihat dengan hadirnya kejahatan di dunia ini.
Tanpa penderitaan, manusia tidak memiliki acuan untuk melanjutkan kehidupan. Tanpa penderitaan, keindahan akan direduksi habis-habisan. Tanpa penderitaan, manusia kehilangan tangga-tangga untuk mencapai kebahagiaan. Tanpa penderitaan, tidak akan ada revolusi yang bergulir. Bahkan, tanpa penderitaan, tidak akan ada Madinah. Manusia—pada akhirnya—memang harus menderita agar dapat berbahagia (simply to be happy and happier). ~
Satya Wira Wicaksana__ Saat ini bekerja sebagai dosen di jurusan Hubungan Internasional UNRI. Lumayan sering kabur ke bulan bersama Pink Floyd dan Dewa-19.