JAKARTA (FK) – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal tahun depan terus menjadi perhatian masyarakat.
Dampak dari kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin membebani daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, yang berpotensi semakin terhimpit. Ketika daya beli kelas menengah tergerus, hal ini dapat memengaruhi stabilitas perekonomian nasional.
Namun, di sisi lain, jika PPN tidak dinaikkan, negara berisiko mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan pendapatan dari sektor pajak. Kebijakan ini berada pada dilema: di satu sisi membebani masyarakat, terutama kelas menengah, dan di sisi lain, memengaruhi kemampuan pemerintah dalam menghimpun pendapatan negara.
Jika PPN dinaikkan menjadi 12%, Indonesia akan menempati posisi teratas di ASEAN sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi, sejajar dengan Filipina. Di tingkat global, berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia berada di peringkat ke-13 di antara negara-negara G20 dengan tarif PPN tertinggi, hanya terpaut 1% dari China. Rata-rata tarif PPN dunia, termasuk negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), mencapai 15%.
Menurut data dari PwC dan Trading Economics, beberapa negara dengan pajak tinggi mengalokasikan pendapatannya untuk menyediakan layanan publik yang lebih baik bagi warganya. Hal ini menjadi pembanding bagi Indonesia dalam merencanakan kebijakan pajak yang seimbang antara kebutuhan pendapatan negara dan daya beli masyarakat. FK-cnbc
Redaktur: Munawir Sani