March 23, 2025
aae279da-64ee-44c5-a0d0-247c1f44779a

Ilustrasi foto

Aku tak menyangka akan melihatnya lagi

Resma mengirimkan undangan pernikahannya beberapa hari yang lalu, dan aku menyambutnya dengan senyum tulus. Beberapa hari sebelumnya lagi, ia juga mengundangku ke acara wisudanya. Aku ingat betul kata-katanya dulu. “Setelah wisuda, aku akan menikah bang,”katanya. Dan kini, ia benar-benar memenuhi ucapannya lebih cepat dari perkiraanku.

Di acara akad nikahnya, aku berdiri di antara para tamu, memperhatikan kebahagiaan yang memenuhi ruangan. Resma tersenyum anggun dalam balutan kebaya putih, sementara lelaki yang kini menjadi suaminya menggenggam tangannya dengan lembut.

Di tengah-tengah suasana yang hangat, pandanganku terhenti pada seorang perempuan.

Ada sesuatu tentangnya yang mengusik ingatanku. Wajah itu… bukan wajah asing bagiku. Aku menatapnya cukup lama hingga Nisa, teman di sebelahku, menyadari sikapku.

“Kenapa sih?” gumamnya pelan.

Aku menggeleng, masih berusaha mengingat.

“Cewek itu nggak asing,” kataku akhirnya. “Aku kayaknya pernah lihat dia.”

Nisa mendengus. “Sok kenal banget sih.”

Aku hanya tersenyum kecil, tapi pikiranku terus berputar. Kenapa wajah itu terasa begitu akrab?

Setelah pulang dari acara pernikahan, aku mencoba mencari tahu. Aku membuka Facebook seseorang yang kuyakini adalah tantenya, berharap menemukan foto perempuan itu di antara unggahan yang tak terhitung jumlahnya. Tapi semakin aku menelusuri, semakin aku merasa lelah.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya langsung pada Resma.

“Di acara pernikahan tadi, ada yang namanya Fitri dari Punggur?” tanyaku.

Resma mengiyakan.

Aku menggali lebih dalam, menanyakan apakah ia mengenal seorang Fitri yang tantenya kepala sekolah. Apakah ia bisa bermain gitar? Apakah…

“Kayaknya iya,” jawab Resma ragu.

Lalu aku bertanya, “Empat hari lagi, ulang tahunnya, kan?”

Resma menatapku curiga, tapi aku hanya tertawa kecil. Tak ada yang perlu dicurigai. Hanya sebuah pertemuan lama yang tiba-tiba menyeruak kembali.

Sembilan tahun yang lalu (2016), aku baru saja tiba di Batam. Aku masih beradaptasi dengan kota ini, dengan hiruk-pikuknya, dengan sepi yang diam-diam menyelinap di antara waktu.

Suatu malam, Om membawaku ke rumah kawannya di Punggur. Rumah itu terasa hangat, dan aku ingat ada banyak alat musik di sana. Namun, yang paling menarik perhatianku adalah sebuah foto di sudut ruangan seorang gadis berjilbab, tersenyum dengan begitu tenang di samping kawan Om.

Aku kira dia anaknya, tapi ternyata keponakannya.

Aku bertanya-tanya dalam hati. Omku bilang kawannya itu seorang Nasrani, tapi keponakannya seorang Muslim. Bagiku, yang lahir dan besar di lingkungan yang begitu homogen, itu adalah sesuatu yang asing. Namun, rasa penasaran itu tak bertahan lama, tergantikan oleh sesuatu yang lain.

Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke rumah itu. Kali ini, keponakannya yang ternyata bernama Fitri ada di sana.

Aku ingat bagaimana aku terpaku melihatnya memetik senar gitar dengan jari-jarinya yang lentik. Melodi mengalun lembut, mengisi ruangan dengan kehangatan yang sulit kugambarkan. Saat itu, aku berpikir, mungkinkah ini cara takdir mempertemukan kami?

Kami berbincang panjang malam itu. Aku bertanya kapan ulang tahunnya, dan saat ia menyebutkan tanggalnya, aku terkejut.

“Apa?” tanyaku, hampir tertawa.

Dia memandangku bingung.

“Itu tanggal lahirku juga.”

Dia tidak percaya. Aku mengeluarkan KTP dan menunjukkan padanya. Sejenak, ia terdiam, lalu tersenyum.

Malam itu, aku berpikir untuk kembali lagi, untuk mengenalnya lebih jauh. Aku ingin belajar bermain gitar, meski mungkin itu hanya alasan.

Tapi takdir berkata lain

Aku pernah mencoba pergi ke rumahnya sendiri, mengandalkan ingatan yang samar tentang jalan di Punggur. Tapi aku tersesat, berkendara tanpa arah di jalan-jalan gelap yang tak kukenali.

Hari-hari berlalu, dan saat akhirnya aku ingin kembali mengajak Om kesana, Om ku terlanjur akan segera berangkat ke Malaysia untuk bekerja.

Saat itu aku masih menyimpan harapan, tapi suatu hari aku mendengar kabar bahwa Fitri telah kembali dengan mantan kekasihnya.

Aku hanya bisa tersenyum pahit.

Sejak saat itu, setiap kali aku melewati Punggur, aku hanya bisa mencoba mengingat kembali jalan menuju rumahnya. Tapi ingatanku kabur, dan entah bagaimana, Punggur terasa seperti sebuah mimpi yang semakin menjauh.

Sembilan tahun berlalu

Siang itu, Jumat, 14 Februari 2025 di pernikahan Resma, aku melihatnya kembali.

Waktu telah mengubah banyak hal, tapi tahi lalat di wajahnya masih ada di tempat yang sama, menjadi pembuka kenangan-kenangan yang seharusnya sudah terkubur.

Aku tidak menyapanya.

Tidak ada alasan untuk melakukannya.

Namun, saat aku menatapnya, ada sesuatu yang menghangat dalam hatiku. Bukan penyesalan, bukan kesedihan. Hanya sebaris senyum yang mengingatkanku bahwa beberapa kenangan memang ditakdirkan untuk tetap tinggal, bukan untuk kembali dihidupkan, tapi untuk dikenang dengan cara yang paling indah.

By : Munawir Sani