June 17, 2025
RRRRRR

Robby Patria saat menerima cinderamata dari Persatuan Penulis Johor. (F. dok. PPJ)

Oleh Robby Patria__ Peserta Dialog Selat Tebrau

 

Imam Al-Ghazali memberikan definisi bahwa rindu adalah konsekuensi dari adanya mahabbah (cinta) terhadap suatu objek. Dengan cinta, rindu akan datang dengan sendirinya. Rindu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat emosional tinggi untuk bisa bertemu dengan orang yang dirindukan.

Ketika rindu itu tak ada obatnya, maka rindu akan menjadi penyakit yang bisa menggerogoti tubuh. Bagaimana Cleopatra menjadi sosok yang dirindukan oleh Julius Caesar dengan rasa cinta yang tak ada obatnya selain berjumpa.

Guna menjawab kerinduan akan kejayaan kesusastraan kerajaan masa lalu yang bermula dari Bentan, sebanyak 22 orang budayawan Kepulauan Riau diundang dalam acara Dialog Selat Tebrau yang berlangsung di Johor, 23–25 Mei 2024.

Tim budayawan Kepulauan Riau dipimpin oleh tokoh masyarakat Kepri, Huzrin Hood. Selain itu, hadir pula budayawan nasional Rida K. Liamsi, budayawan Husnizar Hood, akademisi UMRAH Abdul Malik, pendiri Sanggar Sanggam Pepy Chandra,  penyair nasional Ramon Damora, Tarmizi, Rendra Setyadiharja, Abdul Kadir Ibrahim, penulis Muhammad Natsir Tahar, dosen UMRAH Robby Patria, penyair Irwanto, Syafaruddin, Alang, Isnaini Leo Santy, Azizah, Suryanti, Ning, dan Ainun Ahmad.

Mengapa dialog yang digelar oleh Persatuan Penulis Johor (PPJ) yang didukung oleh Kerajaan Johor ini diberi nama Dialog Selat Tebrau? Karena turut menjawab kerinduan terhadap kemajuan Selat Tebrau yang membelah Singapura dan Johor, Malaysia.

Dahulu, Johor, Singapura, dan Kepri adalah satu saudara dengan pemimpin yang sama, yakni bermula dari Sang Sapurba yang mendirikan Kerajaan Bentan di Pulau Bintan. Hingga akhirnya Nila Utama mendirikan Tumasek, yang kini menjadi Singapura, pada tahun 1299.

Dari Tumasek, kekuasaan bergeser ke Melaka. Setelah Melaka diserang Portugis, berdirilah Kerajaan Johor. Sultan Johor ke-7, Sultan Abdullah Muayat Syah, wafat di Tambelan tahun 1623 ketika mengundurkan diri dari kepungan Iskandar Muda dari Aceh.

Dari Tambelan, perjalanan Kerajaan Johor tidak berakhir, bahkan terus berlanjut ke Tanjungpinang dan Lingga. Hingga akhirnya, Belanda dan Inggris membagi dua wilayah jajahan, sehingga Kepulauan Riau dan Johor menjadi terpisah. Johor, Malaysia masuk ke dalam jajahan Inggris, sementara Kepri masuk ke dalam jajahan Belanda. Sisa kerajaan Riau-Lingga benar-benar dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda (Syarikat Hindia Belanda) pada 10 Februari 1911.

Di penghujung Dialog Selat Tebrau, Ketua Persatuan Penulis Johor, Amiruddin bin Md. Ali, membacakan tujuh resolusi agar kerinduan terhadap kecemerlangan kesusastraan masa lalu dapat kembali bangkit. Kedua wilayah serumpun ini memang terpisah oleh geopolitik, tetapi tidak oleh budaya.

Baik dari segi kuliner maupun adat-istiadat, tidak ada perbedaan berarti. Namun, yang sangat mencolok adalah Johor jauh lebih maju secara ekonomi dibandingkan Kepulauan Riau.

Resolusi Selat Tebrau seolah menjadi panggilan untuk kembali mengangkat kejayaan sastra dua negeri ini. Acara serupa pun direncanakan digelar secara rutin di kedua negara. Jika kegiatan pertama digelar di Johor pada 2025, maka para penulis Kepulauan Riau merencanakan kegiatan serupa di Pulau Bintan.

Yang menarik adalah keinginan agar para penulis dari kedua negara mendapatkan penghargaan dari masing-masing pemerintah. Karena sejauh ini, para penulis sastra di Kepri merasa kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas.

Belum banyak penulis yang mendapatkan nilai ekonomi dari penerbitan buku. Memang ada penulis sukses Indonesia seperti Andrea Hirata, Dee Lestari, Asma Nadia—tetapi jumlah mereka hanya segelintir. Di luar nama-nama itu, para pelaku budaya yang aktif menjaga kelestarian kebudayaan tidaklah hidup makmur seperti pejabat atau politisi.

Yang membedakan keberpihakan Kerajaan Johor terhadap pelaku kebudayaan adalah pada dukungan konkret. Pemerintah Malaysia memberikan dukungan maksimal terhadap para pelaku budaya dan penulis.

Hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan yang digagas oleh PPJ, yang sangat kontras dengan kebijakan dukungan anggaran di pemerintahan Kepulauan Riau, terutama di bidang kesusastraan.

Kebudayaan di negeri jiran memang menjadi daya tarik. Masuk saja ke mal Angsana, Johor, kita akan menemukan pelbagai jenis baju kurung Melayu dengan berbagai model. Begitu pula dengan kuliner—mulai dari laksa, lempeng sagu, hingga teh tarik tersedia.

Malaysia paham bahwa kebudayaan adalah aset besar yang bisa mereka pasarkan secara maksimal untuk menarik wisatawan. Sementara di tempat kita, budaya masih dijadikan komoditas politik menjelang pemilihan kepala daerah. Setelah terpilih, budaya hanya dipakai sebagai simbol seperti mengenakan baju kurung setiap Jumat. Tak banyak kegiatan kebudayaan yang benar-benar dijalankan.

Dampaknya mulai terlihat. Anak-anak muda Melayu mulai tidak mengenal nilai-nilai tunjuk ajar Melayu dan tidak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kita juga jarang melihat lagi pertandingan Gurindam antar sekolah, lomba puisi antar remaja, zapin, menari, dan berbagai kompetisi kebudayaan lainnya.

Kita harus belajar dari Bali dan Yogyakarta yang mampu menjadikan kekayaan budaya mereka sebagai pembeda dari daerah lain di Indonesia. Dan itu berhasil. Banyak dampak positif yang muncul dari industri kreatif budaya yang bersinergi dengan sektor pariwisata.

Pertanyaan besar pun muncul: kapan Kepulauan Riau bisa menjadikan kekayaan budaya sebagai prioritas dalam kehidupan bernegara, sehingga para pelaku budaya tetap bangga untuk terus berkarya, berkreasi, berpentas rutin, dan menjadi bagian menarik dari dunia pariwisata?

Tak ada yang tahu. Dialog Selat Tebrau pelan-pelan namun pasti membangkitkan kembali hal-hal yang lama tenggelam—membangkitkan dan mengobati sedikit kerinduan akan kejayaan masa silam yang kini hanya tersisa dalam catatan sejarah. ~