29/04/2024

Ilustrasi: images.fineartamerica.com

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Nama “Islamnya” adalah Abdul Hadi ‘Aqili. Sebelumnya, dia dikenal dengan nama Ivan Aguelli ; Seorang Mu’alaf yang kemudian menjadi Sufi pengembara, sembari melukis. Jauh sebelum masanya “Chicago Seven”, sudah lebih dulu ada pengadilan massal terhadap 30 orang anarkis Perancis. Salah satunya Ivan Aguelli. Sebagai seorang Anarkis, dia membuat resah otoritas Perancis. Sebagai seorang Sufi, dia melahirkan kampiun Perenialisme; Rene Guenon, yang nanti punya “murid-rekan” bernama Fritjof Schuon, yang nanti punya murid bernama Sayyid Hossein Nasr.

Sebagai Sufi, Aguelli menginisiasi gerakan Thariqat di Eropa, sementara dalam ranah ilmiah, Aguelli merupakan orang pertama yang memakai kata “Islamophobia” dalam artikel-artikel jurnal La Gnose yang diedit oleh murid sekaligus rekannya, Guenon. Corak anarkisme “Pra-Islam”nya tetap ia pertahankan dalam selubung jubah Thariqat Malamatiyah, sebuah tarikat Sufi yang seringkali dipandang memiliki nilai-nilai anarkis dalam jalan yang ditapakinya.

Banyak yang berubah akibat “transformasi” Ivan Aguelli menjadi Abdul Hadi. Hanya satu yang tetap dan niscaya. Kemana pun dia melangkah, perlawanan selalu menjadi nafasnya. Seakan melawan anggapan yang populer di masa itu, justru perlawanan dan pembangkangan Agueli diakomodir oleh jalan Sufi. Sedikit lebih sunyi, namun bukannya tanpa suara dan membisu sama sekali.

Mudahnya, dapat disimpulkan bahwa benang merah yang menyambungkan antara Ivan Aguelli dan Abdul Hadi adalah perannya yang satu : sebagai seorang Intelektual.

*****

Intelektual, menurut Chomsky (seorang intelektual yang kebetulan juga seorang anarkis seperti Aguelli), merupakan kategori manusia yang memiliki privilese berupa akses kepada pendidikan tinggi (higher education). Sehingga mereka, yakni kelompok intelektual ini,  memiliki kewajiban moral untuk menjadi sound of reason pada masanya dan di tatanan di mana ia hidup.  Bagi Chomsky, dapat dikatakan bahwa kaum intelektual tidak memiliki (apa yang saya istilahkan dengan) “privilege of ignorance”, atau privilese ketidaktahuan. Bagi Chomsky, diamnya intelektual adalah dosa terbesar bagi mereka.

Saya ingat dalam salah satu ceramahnya, Chomsky menceritakan dengan getir ingatannya mengenai pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Saat itu, dirinya yang sedang ikut serta dalam sebuah summer school mengasingkan diri dan duduk merenung. Memisahkan diri dari rekan-rekan sebangsa dan setanah airnya yang sedang bersuka cita atas menangnya sekutu dan lumpuhnya kekuatan fasis. “Fasisme hancur !”, mereka berseru. “Bersama dengan jutaan anak-anak dan perempuan tak berdosa di Hiroshima dan Nagasaki”, mungkin begitu sahutan Chomsky dalam benaknya.

Innocency, atau “ketidakbersalahan”. “Ketidakberdosaan”.

“Cukup naif kah engkau untuk menyebut bahwa perempuan-perempuan istri tentara Fasis Jepang sebagai korban tak bersalah? Dan bagaimana dengan anak-anak yang jika saja tidak mati hari itu, maka akan meneruskan fasisme ayah dan datuk-datuknya?” Kira-kira seperti itulah counter-argument terhadap humanisme radikal Chomsky.

Namun saya rasa, inilah yang problematik; Saat perdamaian didorong oleh rasa takut akan adanya perang alih-alih oleh rasa cinta terhadap perdamaian itu sendiri.  Intelektual, dalam sikap disidensi dan perlawanannya seringkali dipandang sebagai agen humanisme. Advokat perdamaian. Edward Said seringkali meninggikan singgasana intelektual sebagai pendekar pembela kebenaran dan kemanusiaan. “Speak truth to power!”, tulisnya. Mereka yang berkata benar di hadapan penguasa.

“Afdholul Jihaadi kalimatu adlin ‘inda sulthoonin jaairin”. Ucap Rasulullah kepada Abu Said Al Khudri dkk. “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.

Namun, Gramsci, begitu juga Benda, nampaknya akan tidak bersepakat dengan notion mengenai intelektual yang “utopian” tersebut. Gramsci menyebut bahwa intelektual merupakan representasi dari kelas yang diwakilinya. Tak selalu intelektual merupakan “orang-orang lurus”. Maka, jika kita memakai sudut pandang Gramscian, Nazi pun memiliki intelektual.

Abu Muhammad Al Maqdisi adalah intelektualnya kelompok teror Al Qaeda. Snouck Hurgronje adalah intelektualnya kekuatan kolonial di Indonesia (dulu Hindia Belanda). Semua kelompok dan kelas memiliki intelektual yang merupakan representasi dari kelas dan kelompok yang diwakilkannya. Maka, dalam paradigma Gramscian, menjadi “intelektual” tidak terlalu spesial. Karena sekelompok bajingan pun punya “intelektual”nya sendiri.

Julien Benda lain lagi. Bagi dia, secara asal, intelektual adalah orang-orang tercerahkan. Namun, orang-orang ini tidaklah senantiasa berada dalam keadaan “konstan”. Bagi Benda, idealisme intelektual bukanlah sesuatu yang tetap. Selalu ada kerentanan terhadap kekuasaan. Benda menuliskan bahwa para intelektual pun dapat berkhianat: The Treason of Intellectual. Intelektual dalam pandangan Benda adalah kelompok “rentan” terpenjarakan.

Karenanya, juga rentan untuk dibujuk, untuk berkompromi, untuk menjinakkan diri. Chomsky pernah dipenjara karena memimpin pergerakan perlawanan terhadap politik luar negeri Amerika Serikat di Vietnam. Dia dipenjara karena bersikukuh untuk menolak bayar pajak. “Saya tak akan membayarkan pajak kepada pemerintah yang menggunakannya untuk mempersenjatai serdadu yang menginvasi negeri orang!” Kira-kira seperti itu.

Namun, ada juga intelektual yang menjual nilai-nilai perjuangannya untuk sepotong kecil kuasa (tentu saja, dalam pandangan matanya itu adalah seporsi besar kue). Tanyalah kepada Subcomandante Marcos mengenai Luiz Inácio Lula da Silva (Presiden Brazil) dan Daniel Ortega (Presiden Nikaragua). Baginya, mereka berdua adalah pengkhianat perjuangan mereka dahulu ketika bersama-sama tergabung dalam gerakan Sandinista. Dalam paradigma Benda, kaum intelektual adalah kaum dengan moralitas yang tinggi, namun tak hilang potensinya untuk berkhianat.

Intelektual memanglah seringkali dihadapkan pada posisi-posisi sulit. Mungkin, deskripsi posisi ulama versi Buya Hamka dapat kita pinjam untuk mendeskripsikan posisi intelektual : “Bagaikan Bika Ambon, di panggang dari bawah dan atas”. Sekalipun persekusi yang mereka alami berbeda berat-ringannya dari zaman ke zaman, namun persekusi merupakan konsekuensi yang senantiasa membayangi mereka.

Leo Strauss menuliskan masalah ini dalam bukunya yang sangat menarik, “Persecution and the Art of Writing” di mana menurut pandangannya, seorang penulis dalam tema-tema yang “nakal”, seperti filsafat (baik esoteris maupun eksoteris) maupun politik seringkali menuliskan pemikiran kontroversialnya dalam metode yang kriptik dan rahasia. “One must keep writing between the lines to keep (some) of information from the masses,” kira-kira begitu.

Barangkali, inilah sebabnya penulis-penulis macam Al Farabi menuliskan karya politiknya dalam nuansa yang sangat konformis, demi menghindari persekusi dari kuasa saat itu. Barangkali juga, tidak menutup kemungkinan, karya monumental berjuluk “Buku Saku Para Diktator” yang ditulis Machiavelli; “Sang Pangeran” ditulis dalam pola yang demikian untuk menghindari persekusi kekuasaan.

Alih-alih menulis secara terang-terangan dosa dan kekotoran tahta kuasa yang dianggap sebagai “God Given”, dia menyelubunginya dengan bentuk-bentuk “nasehat” dan “rekomendasi” sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang ia lihat dari penguasa-penguasa yang lalu. Dengan caranya sendiri, Machiavelli mengekspos kekejian kerajaan, dengan konsekuensi bukunya dijadikan “what to do” untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam pembacaan Strausian, hal ini berlaku dalam berbagai dimensi. Matinya Socrates, Suhrawardi, hingga Bruno adalah disebabkan karena “tidak terselubungnya” gagasan-gagasan melawan mereka, sementara “selamatnya” Al Farabi, Syaikhul Akbar, hingga Machiavelli karena selubung tersebut. Maka, untuk menghindari persekusi, para intelektual dalam beberapa rentang masa tertentu haruslah pandai-pandai menari dalam spasi-spasi sempit paragraf demi paragraf yang ditulisnya.

Namun, hal tersebut adalah sebuah norma yang kerap terlihat dalam kuasa-kuasa diktatoriat. Apakah hal tersebut bisa menjadi norma dalam negara dan kuasa free society dan demokratis seperti sekarang?

Idealnya tentu tidak lagi. Tidak diperlukan lagi. Kematian disiden karena tulisan dan pikirannya sudah terdengar sangat “kuno”, sangat tidak “Abad 21”, sangat tidak demokratis, dan sangat tidak modern.  Namun haruskah kita akui, bahwa anomali selalu berpotensi untuk muncul? Kebangkitan fasisme di Italia bisa menjadi contohnya, atau Neo-Nazi di daratan Eropa dan Amerika Serikat. Farid Zakaria sudah memperingatkan hal ini dari bertahun-tahun lalu, mengenai bangkitnya “illiberal democracy”, dimana praktik-praktik non-demokratis bangkit dari bangkai-bangkai prosedur yang terkesan “demokratis”. Toh, pada awalnya, kita harus ingat bahwa Hitler terpilih secara “demokratis” dan melalui jalan yang sah dan legal. Siapa mesin penggeraknya? Tentu para intelektual pengkhianat yang menjual moralitasnya dengan sepotong kue ataupun kursi-kursi mewah.

Pada akhirnya, sebagaimana Kapitalisme, Diktatorian dan Fasisme rupanya memiliki daya adaptif yang hidup. Sebagaimana organisme yang berpikir, secara ide, mereka berkembang dan belajar. Jika dahulu mereka mempersekusi dan membunuhi para intelektual, hingga memaksa para intelektual untuk “tiarap” dalam tabir-tabir kata dan kalimat, kini mereka cukup menjinakkan mereka.

Caranya banyak, baik dengan menyerap mereka ke dalam sistem sehingga memaksa mereka untuk secara sukarela menumpulkan taji-taji perlawanan para intelektual, membebani mereka dengan beban-beban “pengabdian” hingga kehabisan energi perlawanan, ataupun dengan (dalam bahasa Chomsky) “mempersilahkan pembangkangan dalam batas-batas spektrum yang telah ditentukan oleh kuasa”.

Nampaknya, istilah peyoratif Benda memerlukan sedikit penyesuaian. Bukan intelektual yang berkhianat, namun “intelektual yang jinak”. Contohnya banyak, cukup hidupkan saja televisi anda. Anda akan menemui mereka dengan mudah : yang punya kompetensi sebagai intelektual, namun dijinakkan secara sukarela oleh kuasa. Bersama iringan musik tanpa estetika, mereka dengan patuh ikut menari, ikut berjoget dengan semangat di atas panggung-panggung yang seharusnya mereka runtuhkan.

Sementara ruh Syaikh Abdul Hadi, dengan cermat dan pelan menari juga. Di ujung sunyi stadion sepakbola ataupun sudut-sudut gelap gelanggang olahraga. Namun tentu saja, dalam gerak lingkar penari-penari Darwis, bukan dalam gerak joget yang penuh banalitas tanpa rasa malu. Bagi mereka yang secara tidak sengaja melihat, akan terkejut : “Ada sosok putih berwajah pucat yang berputar-putar!”, jeritnya. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.